WANITA DAN OLAHRAGA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Olahraga adalah serangkaian gerak raga
yang teratur dan terencana untuk memelihara gerak (yang berarti mempertahankan
hidup) dan meningkatkan kemampuan gerak (yang berarti meningkatkan kualitas
hidup). Seperti halnya makan, gerak (Olahraga) merupakan kebutuhan hidup yang
sifatnya terus-menerus; artinya Olahraga sebagai alat untuk mempertahankan
hidup, memelihara dan membina kesehatan, tidak dapat ditinggalkan. Seperti
halnya makan, olahragapun hanya akan dapat dinikmati dan bermanfaat bagi
kesehatan pada mereka yang melakukan kegiatan olahraga. Bila orang hanya
menonton olahraga, maka sama halnya dengan orang yang hanya menonton orang
makan, artinya ia tidak akan dapat merasakan nikmatnya berolahraga dan tidak
akan dapat memperoleh manfaat dari olahraga bagi kesehatannya.
Olahraga merupakan alat untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan fungsional jasmani, rohani dan sosial. Struktur anatomis anthropometris dan fungsi fisiologisnya, stabilitas emosional dan kecerdasan intelektualnya maupun kemampuannya bersosialisasi dengan lingkungannya nyata lebih unggul khususnya pada generasi muda yang aktif mengikuti kegiatan Olahraga dari pada yang tidak aktif mengikutinya (Renstrom & Roux 1988, dalam A.S.Watson: Children in Sport dalam Bloomfield,J., Fricker, P.A. and Fitch,K.D., 1992).
Olahraga merupakan alat untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan fungsional jasmani, rohani dan sosial. Struktur anatomis anthropometris dan fungsi fisiologisnya, stabilitas emosional dan kecerdasan intelektualnya maupun kemampuannya bersosialisasi dengan lingkungannya nyata lebih unggul khususnya pada generasi muda yang aktif mengikuti kegiatan Olahraga dari pada yang tidak aktif mengikutinya (Renstrom & Roux 1988, dalam A.S.Watson: Children in Sport dalam Bloomfield,J., Fricker, P.A. and Fitch,K.D., 1992).
Wanita adalah sebutan untuk perempuan
dewasa yang memiliki sifat lemah lembut (feminim). Lawan jenis wanita adalah
pria yang cenderung memliki sifat keras (gentle)
Faktor yang menentukan para wanita yang
berolahraga dalam masyarakat adalah jaringan interaksinya. Seberapa luas dia
mampu membentuk pola interaksi dengan yang lainnya, dan seberapa dalam
interaksi serta komunikasi yang mampu dia lakukan dengan yang lainnya.
Satu alat ukur untuk ini adalah
frekuensi keterlibatannya pada aktivitas olahraga dan prestasi yang telah
dicetaknya. Dengan itu
pula masyarakat akan memberikan status padanya.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1. Partisipasi di antara Para Wanita
Sejak tahun 1970-an perubahan dramatis
pada olahraga adalah naiknya tingkat partisipasi olahraga wanita. Hal ini
terjadi di setiap negara industri. Di Amerika, tahun akademis 1970-1971 kurang
dari 300.000 siswi sekolah menengah bermain olahraga tim sekolah, tahun
akademis 1983-1984 ada 1.800.000 siswi yang berpartisipasi kenaikan sebanyak
60%. Hal ini sangat menarik karena pada periode yang sama jumlah siswi menurun
sebanyak 5%. Di tingkat Universitas 16.000 mahasiswi bermain olahraga tim tahun
1970-an, namun tahun 1984 lebih dari 150.000 orang, kenaikan sekitar 90%. Sulit
untuk menunjukkan jumlah partisipasi pada program olahraga masyarakat, namun
hampir semua laporan memperlihatkan adanya kenaikan partisipasi wanita dalam
olahraga.
Adapun yang menjadi penyebab
meningkatnya partisipasi olahraga wanita di Amerika dipengaruhi oleh beberapa
faktor di antaranya:
a. Peluang baru
b. Kebijakan
pemerintah (tertuang dalam pasal IX)
c. Gerakan kaum
perempuan
d. Gerakan
kesehatan dan kebugaran
e.
Adanya tokoh atetik teladan.
a.
Peluang Baru
Sebelum
pertengahan tahun 1970-an, wanita tidak berpartisipasi dalam olahraga karena
tim dan program untuk mereka tidak ada. Sekarang ini tim dan program telah
membuka daya tarik yang tidak dihiraukan sebelumnya. Budget belum didistribusikan
secara merata untuk pria dan wanita, tapi kenaikan partisipasi telah berjalan
bersamaan dengan investasi sumber daya yang baru dalam program bagi wanita.
b. Kebijakan pemerintah
Kebijakan pemerintah
yang mulai menerima keberadaan wanita dalam kegiatn olahraga serta kgitan
lainnya seperti ekonomi polotik ekonomi dan lain-lain, pada awalnya mendapat
tantangan dari kalangan masyarakat yang masih menganut tatanan masyarakat
ortodok. Setelah melkukan debat yang cukup panjang, maka kogres dari perwakilan berbagai negara
memutuskan untuk mengeluarkan kebijakan
yang tertuang dalam pasal IX pada tahun1972. pasal ini mengatur segala sesuatu
yang secara spesifik diarahkan pada pengeshan dan perlindungan pada kaum wanita
yang berpartisipasi dalam setiap kegiatan. Secara tersurat aturan tersebut
berbunyi
“setiap
orang (tanpa memperhatikan perbedaan jenis kelamin) memiliki kebebasan untuk
berpartisipasi dalam setiap kegiatan” akan tetapi kebijakan tersebut mendapat
tantangan yang cukup keras, terutama oleh kaum pria yang mengelola program
olahraga disekolah.
Perjuangan
keras dari poloti yang peduli dari kaum wanita dikanada memicu terbentuknya
perkumpulan olahraga kaumwanita pada tahun 1980. setelah enamtahun kemudian
publikasi yang menyoroti kaum wanita
dalam olahraga mulai banyak diedarkan. Serta banyaknya kebijakan benyak
memberikan kesempatan bagi kaum wanita untuk berpartisipasi aktif dalam
olahraga. Hal itulah yang menjadikan negara
kanada sebagai negara barat
pertama yang membuka peluang besar bagi wanita untuk terjun dalam kegiatan
olahraga.
c.
Gerakan Kaum Perempuan
Dasar pemikirannnya adalah, bahwa wanita akan lebih baik
sebagai manusia, jika diberikan peluang untuk menjadi kompeten dan mampu
(Fershin, 1974). Hal ini membuat wanita segala usia mengejar keinginan mereka
dalam olahraga. Dan partisipasi mereka dianggap sebagai simbol perubahan dari
organisasi yang biasanya kental diskriminasinya (Barfield, 1980). Gerakan ini
juga menjadi katalisator bagi hak bekerja dan penokohan dalam keluarga. Di mana
wanita dapat memperoleh pekerjaan seperti halnya pria, dan mereka berbagi tugas
rumah tangga dengan kaum pria sehingga dapat melakukan hal-hal lain, termasuk
kegiatan olahraga.
d.
Gerakan Kesehatan dan Kebugaran
Sejak
pertengahan tahun 1970-an meningkatnya kesadaran akan kesehatan dan kebugaran
mempengaruhi wanita untuk ikut serta dalam berbagai kegiatan fisik. Selain
kecantikan tubuh secara tradisional, adapula perhatian akan pembangunan tubuh
wanita secara aktual. Yaitu melalui kekuatan, otot dan, pembangunan fisik.
Banyak wanita yang mencoba untuk menghadapi tantangan dalam olahraga, bukan
hanya ingin terlihat seperti model pada majalah
e.
Adanya Tokoh Olahraga Teladan
Naiknya tingkat
partisipasi olahraga wanita juga disebabkan oleh adanya tokoh olahraga yang
dapat dijadikan teladan bagi kaum wanita segala usia. Para tokoh ini memperkuat
definisi bahwa olahraga adalah kegiatan umat manusia, bukan hanya untuk kaum
pria saja.
Faktor-faktor di atas
secara kombinasi mempengaruhi partisipasi olahraga wanita dan anak perempuan.
Dengan tingginya partisipasi, maka program dan peluang akan semakin bertambah.
Naiknya partisipasi wanita tidak mempunyai pengaruh langsung terhadap struktur
masyarakatnya, tapi memberikan kontribusi terhadap pengalaman pembangunan bagi
individu setiap wanita.
Implikasi dari kenaikan
partisipasi olahraga pada wanita adalah keterlibatan wanita dalam tenaga kerja.
Adanya batasan peluang kerja bagi wanita biasanya karena mereka dianggap tidak
mampu secara fisik. Namun setelah wanita memperlihatkan prestasi mereka dalam
olahraga, maka argumen ini dapat dihilangkan. Batasan mengenai ketidak mampuan
fisik wanita dalam pekerjaan, dapat ditentang dengan adanya prestasi mereka
dalam olahraga.
Riset membuktikan
bahwa, satu masalah yang berkaitan dengan pengalaman sosialisasi kaum wanita
adalah interferensi mereka dengan pembangunan otonomi dan sikap asertif. Wanita
biasanya melihat diri mereka bukan sebagai individu yang tersendiri, namun
sebagai kemampuan dalam mengurus dan mendukung orang lain. Seperti dalam
situasi keluarga (Chod, 1978). Padahal wanita juga membutuhkan pengalaman yang
membuat mereka mampu melihat dirinya sebagai manusia yang unik yang tidak
sepenuhnya tergantung dari orang lain. Persoalannya adalah, apakah olahraga
dapat memberikan pengalaman ini?
(Coakley & Westkott, 1984)
berpendapat bahwa, olahraga berpotensi memberikan pengalaman-pengalaman positip
terhadap perkembangan wanita, adalah sebagai berikut
Pertama, partisipasi
olahraga dapat menekankan pembangunan identitas anak perempuan dalam
kelompoknya yang berdasarkan pencapaian keahlian yang dihargai kelompok.
Identitas seperti ini lebih mengutamakan melakukan sesuatu dari pada menjadi
sesuatu, jadi aktif bukannya pasif. Partisipasi dalam olahraga membuat wanita
dapat mengejar aspirasi mereka dengan lebih serius.
Kedua, partisipasi
olahraga dapat membuat wanita menjadi individu yang tersendiri, di mana
aktivitas dan tantangannya tidak ditentukan atau dikendalikan oleh keluarga.
Ketiga, olahraga dapat
memberikan jenis dan figur pemimpin yang dapat dikaitkan dengan diri mereka.
Dengan menggambarkan figur pemimpin dalam situasi dan kemampuan yang berbeda,
maka wanita akan melihat pemimpin sebagai manusia biasa yang tidak selalu benar
dan sempurna. Begitu pula jika mereka melihat kepemimpinan orang tua mereka.
Hal ini akan membuat wanita menjadi lebih asertif dalam hubungannya dengan
orang lain dan bukan menjadi takut akan kekuatan atau kekuasaan orang lain.
Selain itu partisipasi
olahraga juga dapat member! peluang kepada wanita untuk melakukan koneksi
dengan tubuh mereka. Tubuh wanita bukan hanya sebagai bahan konsumsi saja,
namun adanya identitas dan perasaan akan kekuatan yang ada pada tubuh tersebut.
Dengan demikian partisipasi olahraga akan mendekatkan diri mereka dengan tubuh
dan meningkatkan perkembangan psikologisnya. Riset membuktikan pendapat ini
meski situasinya harus dibuat lebih bersifat membangun dari pada sekedar untuk
mencapai prestasi atau memecahkan rekor saja.
Naiknya partisipasi
wanita dalam olahraga dapat mengarah pada tingkat struktural dan sosial
psikologis. Otonomi, asertif, dan pendekatan terhadap tubuh wanita bukan
merupakan akibat langsung dari partisipasi olahraga. Namun hal ini dapat
dicapai jika situasinya dibuat agar bersifat membangun yang ditekankan oleh
pelatih, pemain, orang tua dan kelompoknya.
2.2.
Wanita Dalam Olahraga
Tidak ada satupun wanita terlahir yang
secara otomatis mendapatkan status sebagai olahragawan atau atlet. Status
partisipan olahraga hanya diperoleh melalui tindakan yang ditunjukkan dengan
perbuatannya pada aktivitas olahraga. Hal ini yang membedakan dengan status
bangsawan (raden , roro) yang secara otomatis dimiliki ketika seseorang
dilahirkan. Dapat dikatakan bahwa status atlet, yang dimiliki wanita, merupakan
achieved-status yaitu kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan
usaha-usaha yang disengaja. Kedudukan ini tidak diperoleh atas dasar kelahiran
(ascribe-status). Achieved status bersifat terbuka bagi siapa saja
tergantung dari kemampuan masing-masing dalam mengejar serta mencapai
tujuan-tujuannya. Dari konsep ini stratifikasi sosial akan terjadi. Semua
wanita memiliki kesempatan sama untuk memperoleh status tertentu di masyarakat,
tetapi karena kemampuan dan pengalaman berbeda berdampak pada lahirnya
tingkatan-tingkatan status yang akan diperoleh wanita dalam partisipasinya di
olahraga. Bagaimanapun juga setiap wanita berolahraga menginginkan prestise dan
derajat sosial dalam kehidupan di masyarakatnya. Bukan sebagai pengakuan atas
keberadaannya oleh anggota kelompok, melainkan sebgai salah satu tuntutan
kebutuhan untuk harga diri dan atau self-esteem (Teori kebutuhan menurut
Maslow). Peningkatan status sosial wanita berolahraga memaksakannya untuk terus
memobilisasi setiap tindakan. Mobilitas sebagai salah satu peningkatan
status sosial menurut Ralph H. Turner memiliki dua bentuk yaitu:
a. Contest
mobility (mobilitas sosial berdasarkan persaingan pribadi),
b.
Sponsored mobility (mobilitas sosial berdasarkan dukungan).
Dengan mencermati bentuk mobilitas maka
pemberian status sosial kepada wanita berolahraga hendaknya mampu diberikan
sesuai porsi proses yang telah dilakukannya. Hal ini mungkin berdampak kepada
proses menghilangkan perbedaan pemberian penghargaan diantara atlet pria dan
wanita yang sama-sama menjadi juara di kelompoknya (gender). Misalnya
sejumlah hadiah yang masih dibedakan diberikan antara kelompok putra dengan
putri. Meski mungkin pertimbangannya adalah ketika pertandingan putra sering
melahirkan tindakan yang lebih akrobatik, atraktif, skill tinggi (jika
dibandingkan dengan kelompok putri), terlebih jika didramatisir oleh pers yang
secara jumlah memang kaum pria di kalngan pers lebih banyak yang tentu saja
akan selalu memberikan dukungan lebih pada sesamanya, yang berdampak pada
semakin banyaknya jumlah penonton dan secara otomatis pemasukan keuntungan dari
penjualan karcispun lebih besar.
Terlepas dari itu, status wanita
berolahraga memang masih menempati porsi lebih rendah dari kaum pria.
Anekdotnya bisa dikatakan karena wanita kalah “start”. Semenjak zaman Yunani
dan Romawi, sebagai perintis olahraga modern, wanita belum memperoleh
kesempatan yang luas dibandingkan pria, bahkan dilarangnya berpartisipasi meski
sebenarnya telah memiliki kemampuan yang sama dengan pria (dari beberapa
mitolog Artemis dan Athena, Theseus, Hippolyta).
2.3. Peranan Wanita Dalam Olahraga
Peranan (role) merupakan
dinamika dari status atau penggunaan dari hak dan kewajiban (Susanto, 1985),
aspek dinamis kedudukan (status) (Soekanto, 1990). Sehingga apabila wanita
melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan
suatu peranan. Peranan
mungkin mencakup tiga hal yaitu :
1.
Meliputi norma-norma yang
dihubungkan dengan posisi seseorang, serangkaian peraturan yang membimbing
seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan.
2.
Konsep tentang apa yang dapat dilakukan
oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
3.
Perilaku individu yang penting
bagi struktur sosial masyarakat.
Peranan dengan status keduanya tak
dapat dipisah-pisahkan, karena yang satu tergantung kepada yang lain dan
sebaliknya. Tak ada peranan tanpa kedudukan atau kedudukan tanpa peranan. Maka
sudah selayaknya seorang wanita partisipan olahraga yang telah berbuat sesuai
norma di masyarakat, berperilaku di masyarakat sebagai organisasi (resmi dan
tidaknya, olahraga adalah sebuah organisasi), dan merupakan struktur sosial
masyarakat mendapat peranan sosial dari kedudukannya sebagai wanita yang
berolahraga. Hanya saja sering dilupakan bahwa dalam interaksi sosial yang
paling penting adalah melaksanakan peranan. Tidak jarang terjadi bahwa
kedudukan lebih diutamakan sehingga terjadi hubungan-hubungan timpang yang
tidak seharusnya terjadi. Contoh dalam dunia olahraga, peranan manajer yang
melebihi kekuasaan pelatih dalam menentukan siapa atlet yang harus bertanding,
peranan atlet profesional yang tidak mencerminkan jati dirinya sebagai
olahragawan yang menjunjung sportivitas (fair play). Sehingga lebih cenderung
mementingkan bahwa suatu pihak hanya mempunyai hak saja, sedang pihak lainnya
hanyalah mempunyai kewajiban belaka.
Dalam dunia olahraga ketimpangan ini
menyebabkan terjadinya ketidakmerataan kesempatan. Wanita hanya dijadikan
sebagai faktor pendukung yang keberadaannya bukan prioritas, bukan yang
utama. Misalnya dalam beberapa kasus olahraga profesional, wanita hanya sebagai
objek pelengkap seperti umbrella girls di otomotif sports, atau pemandu
sorak dalam beberapa olahraga.
Permainan. Hingga status dan peranannya
bukan sebagai “bintang”, tidak pula sebagai pemain utama.
Ketimpangan-ketimpangan yang lebih luas terjadi pada masyarakat partisipan
aktivitas tertentu, termasuk aktivitas olahraga, akibat ketidaksesuaian harapan
(dalam konteks olahraga Indonesia rasanya lebih tepat dikatakan tuntutan)
dengan peranan terhadap peranan yang tepat dalam menduduki suatu status (Davis,
1948) terjadi karena :
1.
Harapan masyarakat kurang memperhatikan
tindakan sebenarnya atau sebaliknya,
2.
Apabila harapan masyarakat akan
tindakannya diketahui, akan tetapi waktu dan situasi tidak memungkinkan bagi
individu yang bersangkutan,
3.
Apabila pemenuhan harapan masyarakat di
luar kemampuan individu.
Masyarakat olahraga Indonesia masih
kuat dengan konsep kalah menang, bahwa suatu pertandingan hanya sebatas
pemenang dan pecundang. Sehingga identik dengan menyamaratakan status tanpa
memahami peranan yang diemban. Kita menyamakan status atlet kita dengan atlet
dunia, tanpa mengerti proses untuk memperoleh status terlebih peranannya
seperti apa. Dunia olahraga wanita lebih memperoleh “kesialan” dari konsep ini.
Kita lebih tahu bahwa tim putri kita adalah pecundang tanpa mengerti siapa
lawannya dan proses untuk menjadi pecundang (karena kita memang kalah start
dalam proses pembinaan olahraga wanita). Tim sepakbola kita lebih banyak
kalahnya, tim bulutangkis semakin terpuruk, berpindahnya pebulutangkis putri
harapan kita ke negara lain, ketidakmampuan induk olahraga dalam proses
regenerasi atlet wanita. Ini semua adalah trend yang semakin memperburuk
persepsi masyarakat terhadap aktivitas wanita berolahraga. Salah satu
penyebabnya adalah perbedaan kesempatan. Menururt Coakley (1990) dari beberapa
kasus bahwa wanita masih memiliki sedikit kesempatan dibandingkan pria,
terutama di kota-kota kecil dan wilayah pedesaan. Yang lebih sering terjadi adalah
kekurangan, diantaranya dalam hal :
1. Persediaan dan
pemeliharaan peralatan dan penyebarannya,
2. Penjadwalan pertandingan dan waktu
latihan,
3. Kesempatan
memperoleh pelatihan dan tutor akademik,
4. Penugasan dan
kompensasi pelatih dan tutor
5. Ketersediaan
obat-obatan dan pelayanan latihan serta fasilitas
6. Publisitas bagi secara individu,
team, dan event.
Hal inilah yang setidaknya memberikan kontribusi bagi
pemikiran agar status dan peranan wanita dalam olahraga memperoleh porsi yang
lebih luas lagi menyerupai kesempatan yang diperoleh pria. Wanita tidak lagi
berada di belakang dalam startnya untuk memperoleh status dan peranan sosial di
masyarakat dibandingkan kaum pria. Faktor pendukung ke hal itu adalah kesadaran
seluruh masyarakat. Bahwa bagaimanapun juga suatu keberhasilan yang
meningkatkan status bangsa di dunia internasional adalah buah kerja sama antara
pria dengan wanita. Andai saja bangsa ini adalah negara yang menghormati
sejarah serta terus mengenangnya, kita diingatkan pada prestasi tertinggi yang
diperoleh duta-duta bangsa dalam olimpiade 1996 saat pertama kalinya lagu
kebangsaan Indonesia Raya berkumandang adalah buah kerja keras seorang wanita
bernama Susi Susanti. Wanitalah sebenarnya yang menjadi perintis bagi KONI
untuk terus mencanangkan upaya mendulang medali pada olimpiade-olimpiade berikutnya.
Hanya saya kita adalah masyarakat hedonis yang bersuka cita sesaat tanpa mampu
mengambil makna dari setiap peristiwa yang mampu menorehkan prestasi
spektakuler. Yang pada akhirnya kita tetap lupa (atau mungkin mengabaikan) akan
“kemashuran” atlet wanita yang berhasil mencetak prestasi melebihi kaum pria.
Sehingga status dan peranan wanita dalam olahraga masih terus berada di
belakang kaum pria.
2.4. Perbedaan
Gender dalam Olahraga
Diskriminasi terhadap wanita dalam olahraga baru
didokumentasikan dan dianggap sebagai masalah pada tahun 1970-an. Di mana tim
olahraga wanita menerima dana yang lebih rendah dari tim pria. Tahun 1974
budget program olahraga pria lima kali lipat budget untuk wanita. Bahkan pada
tingkat Universitas perbedaannya sampai 100 kali lipat (Women Sport, 1974).
Diskriminasi terlihat dalam hal fasilitas dan peralatan.
Wanita menggunakan gedung olahraga yang usang di mana pria dibuatkan gedung
yang baru. Wanita memakai peralatan bekas tim pria, jika tidak ada yang bekas
terkadang tim wanita tidak mempunyai apa-apa. Dalam menggunakan fasilitas yang
sama, wanita mendapatkan giliran jadual yang tidak fair.
Wanita tidak mendapatkan perhatian yang cukup mengenai
latihan seperti halnya pria. Sering kali untuk menuju ke pertandingannya, tim
wanita harus menggunakan bis padahal tim pria mendapatkan pelayanan pesawat.
Liputan media untuk berita tentang olahlraga wanita juga kurang, padahal
olahraga pria selalu mendapatkan perhatian media surat kabar, radio bahkan
televisi. Sampai adanya persamaan pada setiap bidang di atas, maka wanita tidak
bisa dikatakan mendapatkan peluang yang sama dengan pria dalam program sekolah.
Pada tingkat masyarakat, meski partisipasi olahraga
wanita telah meningkat, diskriminasi masih kentara. Misalnya pada penggunaan
fasilitas, program yang tersedia dan pengurus yang ditugaskan untuk kegiatan
olahraga wanita. Hal ini juga terjadi untuk tingkat olahraga amatir nasional.
Mempertahankan Perbedaan Mitos
a. Mitos Fisiologi
Adanya kepercayaan bahwa partisipasi olahraga menyebabkan
efek fisik yang berbahaya bagi wanita. Mitos ini meliputi hal-hal sebagai
berikut:
- Partisipasi yang keras dalam olahraga dapat mengganggu kemampuan untuk melahirkan, Hal ini disebabkan bahwa latihan fisik akan memperkeras otot pelvis, sehingga tidak akan cukup fieksibel untuk melahirkan secara normal.
- Aktivitas pada beberapa cabang olahraga dapat merusak organ reproduksi dan payudara wanita. Mitos ini tetap ada meskipun uterus adalah organ internal yang sangat anti getaran dan lebih terlindung dibanding organ vital pria.
- Struktur tulang wanita lebih lemah, sehingga akan memudahkan terjadinya cedera. Meski ukuran tubuh wanita umumnya lebih kecil dari pada pria, namun tulang mereka tidak lebih lemah. Bahkan, karena berat badan dan berat otot wanita lebih ringan, maka tulang mereka menghadapi bahaya yang lebih sedikit dibanding pria.
- Keterlibatan yang aktif membuat masalah pada menstruasi. Menurut para ginekolog, "aktivitas olahraga tidak mempengaruhi menstruasi." (Wyrick, 1974). Memang bagi atlet dalam periode latihan yang keras, sering mengalami keterlambatan menstruasi. Namun hal ini disebabkan oleh kurangnya persentasi lemak tubuh, Jadi masalah ini akan hilang jika latihan ketat ini berakhir. Penari balet professional sering mengalami perubahan siklus menstruasi, namun hal ini juga berakhir jika latihan ketat mereka dihentikan.
- Keterlibatan dalam olahraga mengakibatkan timbulnya otot yang menonjol dan tidak menarik. Padahal suatu tubuh yang dikondisikan dengan baik akan menjadi menarik. Kondisi fisik yang baik ini juga akan meningkatkan image tubuh dan meningkatnya sifat responsif fisik. Otot yang menonjol dihasilkan oleh hormon androgen yang lebih banyak terdapat pada kaum pada. Namun hal ini bervariasi antar individu.
Kelima mitos tersebut, jelas sangat tidak beralasan bagi
wanita untuk tidak berpartisipasi dalam olahraga, sehingga upaya untuk
menghindari orang yang masih menganut mitos tersebut di atas, adalah melalui
pendidikan. Jadi pendidikan adalah penting untuk menghilangkan mitos
yang tidak berdasarkan ilmu pengetahuan ini
b. Mitos
Performansi
Pola diskriminasi juga terlihat dengan
argumentasi bahwa wanita tidak bisa tampil lebih baik dari pria. Hal ini sangat
menghambat karena akan membatasi peluang, sehingga membatasi wanita untuk
membangun kemampuannya.
Sebelum masa puber, perbedaan
performansi antara anak laki-laki dan perempuan disebabkan oleh pengalaman
bukan oleh faktor fisik ataupun potensi performansinya. Bahkan wanita
rnempunyai keuntungan yang lebih baik karena mereka lebih cepat dewasa. Setelah
masa puber, keuntungan ada di pihak pria karena hormon dan perbedaan
pertumbuhan yang menyebabkan rata-rata pria lebih besar dan lebih kuat dari
rata-rata wanita. Hal ini bisa digunakan sebagai dasar untuk membagi-bagi
olahraga, namun bukan alasan untuk menutup peluang bagi wanita.
Jika pengalaman dan peluang bagi wanita
dan pria sama, maka perbedaan ini akan hilang secara bertahap. Pada beberapa
cabang olahraga perbedaan ini mungkin akan tetap ada, namun pada cabang-cabang
lainnya perbedaan ini malah bisa terjadi sebaliknya. Misalnya pelari marathon
wanita, Grete Waitz dari Norwegia mencatat waktu 2 jam 25 menit 41 detik pada
New York City Marathon, waktu yang lebih baik dari pemenang pria saat itu. Pada
cabang olahraga yang membutuhkan daya tahan dan bukan kekuatan, maka wanita
akan lebih baik daripada pria. Karena itu tidak masuk akal jika mencegah
peluang pria pada cabang ini, dan juga tidak masuk akal untuk mencegah wanita
pada cabang lain hanya karena ada kemungkinan bahwa pria akan mengunggulinya.
Mitos performansi diperkuat oleh
sejarah pembatasan dan diskriminasi. Mitos ini mulai berkurang, tapi jika
individu dan kelompok yang berpengaruh (seperti IOC) masih menganut hal ini,
maka diskriminasi akan terus berlanjut.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pemberian status dan peranan sosial bagi wanita dalam
olahraga hendaknya dapat dilakukan lebih bijak melalui pertimbangan kesesuaian
antara apa yang mampu dilakukannya dengan pemberian hak dan kewajiban serta
kesesuaian memberikan harapan-harapan bukan dalam bentuk tuntutan. Mitos yang
keliru sudah seharusnya dibuang. Perbedaan persepsi tidak harus semakin
menyudutkan status dan peranan wanita dalam olahraga melainkan sebagai
pengayaan untuk mencari solusi dalam memberikan kesempatan yang lebih luas
untuk menumbuhkembangkan seluruh potensi serta untuk terus mengejar
ketertinggalan dari kaum pria, dan kemajuan kaum wanita di negara lain.
Saran
Diharapkan dengan emansipasi wanita yang dipelopori oleh
R.A. Ajeng Kartini, wanita akan lebih dapat menselaraskan dengan kaum pria
dalam kedudukan serta skill (keahlian) dan ability (kecakapan).
DAFTAR
PUSTAKA
Avgerinou, Vassiliki. Kedudukan Dan Peran Atlet Di
Masyarakat. Kajian Substansi Makalah dalam Payung Sosiologi Olahraga.
Coakley,
Jay J. (1990). Sport in Society Issues and Controversies. Fourth
Edition. Time Mirror/Mosby College Publishing – St. Louis-Toronto-Boston-Los
Altos.
Giriwijoyo,
Santoso (2003). Wanita dan Olahraga. FPOK UPI
Bandung.
Soekanto, Soerjono (1990). Sosiologi Suatu Pengantar.
Edisi Keempat. Rajawali Pers – Jakarta.
Susanto, Astrid S. (1985). Pengantar Sosiologi dan
Perubahan Sosial. Bina
Cipta. Wendt,
Jenice
Clemons. Women In Sport. University of Houston, Houston, Texas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar