Jumat, 09 Mei 2014

WANITA DAN OLAHRAGA



WANITA DAN OLAHRAGA


BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Olahraga adalah serangkaian gerak raga yang teratur dan terencana untuk memelihara gerak (yang berarti mempertahankan hidup) dan meningkatkan kemampuan gerak (yang berarti meningkatkan kualitas hidup). Seperti halnya makan, gerak (Olahraga) merupakan kebutuhan hidup yang sifatnya terus-menerus; artinya Olahraga sebagai alat untuk mempertahankan hidup, memelihara dan membina kesehatan, tidak dapat ditinggalkan. Seperti halnya makan, olahragapun hanya akan dapat dinikmati dan bermanfaat bagi kesehatan pada mereka yang melakukan kegiatan olahraga. Bila orang hanya menonton olahraga, maka sama halnya dengan orang yang hanya menonton orang makan, artinya ia tidak akan dapat merasakan nikmatnya berolahraga dan tidak akan dapat memperoleh manfaat dari olahraga bagi kesehatannya.
Olahraga merupakan alat untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan fungsional jasmani, rohani dan sosial. Struktur anatomis anthropometris dan fungsi fisiologisnya, stabilitas emosional dan kecerdasan intelektualnya maupun kemampuannya bersosialisasi dengan lingkungannya nyata lebih unggul khususnya pada generasi muda yang aktif mengikuti kegiatan Olahraga dari pada yang tidak aktif mengikutinya (Renstrom & Roux 1988, dalam A.S.Watson: Children in Sport dalam Bloomfield,J., Fricker, P.A. and Fitch,K.D., 1992).
Wanita adalah sebutan untuk perempuan dewasa yang memiliki sifat lemah lembut (feminim). Lawan jenis wanita adalah pria yang cenderung memliki sifat keras (gentle)
Faktor yang menentukan para wanita yang berolahraga dalam masyarakat adalah jaringan interaksinya. Seberapa luas dia mampu membentuk pola interaksi dengan yang lainnya, dan seberapa dalam interaksi serta komunikasi yang mampu dia lakukan dengan yang lainnya.
Satu alat ukur untuk ini adalah frekuensi keterlibatannya pada aktivitas olahraga dan prestasi yang telah dicetaknya. Dengan itu pula masyarakat akan memberikan status padanya.
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1. Partisipasi di antara Para Wanita
Sejak tahun 1970-an perubahan dramatis pada olahraga adalah naiknya tingkat partisipasi olahraga wanita. Hal ini terjadi di setiap negara industri. Di Amerika, tahun akademis 1970-1971 kurang dari 300.000 siswi sekolah menengah bermain olahraga tim sekolah, tahun akademis 1983-1984 ada 1.800.000 siswi yang berpartisipasi kenaikan sebanyak 60%. Hal ini sangat menarik karena pada periode yang sama jumlah siswi menurun sebanyak 5%. Di tingkat Universitas 16.000 mahasiswi bermain olahraga tim tahun 1970-an, namun tahun 1984 lebih dari 150.000 orang, kenaikan sekitar 90%. Sulit untuk menunjukkan jumlah partisipasi pada program olahraga masyarakat, namun hampir semua laporan memperlihatkan adanya kenaikan partisipasi wanita dalam olahraga.
Adapun yang menjadi penyebab meningkatnya partisipasi olahraga wanita di Amerika dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya:
a.       Peluang baru
b.      Kebijakan pemerintah (tertuang dalam pasal IX)
c.       Gerakan kaum perempuan
d.      Gerakan kesehatan dan kebugaran
e.       Adanya tokoh atetik teladan.
a.      Peluang Baru
Sebelum pertengahan tahun 1970-an, wanita tidak berpartisipasi dalam olahraga karena tim dan program untuk mereka tidak ada. Sekarang ini tim dan program telah membuka daya tarik yang tidak dihiraukan sebelumnya. Budget belum didistribusikan secara merata untuk pria dan wanita, tapi kenaikan partisipasi telah berjalan bersamaan dengan investasi sumber daya yang baru dalam program bagi wanita.
b.      Kebijakan pemerintah
Kebijakan pemerintah yang mulai menerima keberadaan wanita dalam kegiatn olahraga serta kgitan lainnya seperti ekonomi polotik ekonomi dan lain-lain, pada awalnya mendapat tantangan dari kalangan masyarakat yang masih menganut tatanan masyarakat ortodok. Setelah melkukan debat yang cukup panjang, maka  kogres dari perwakilan berbagai negara memutuskan  untuk mengeluarkan kebijakan yang tertuang dalam pasal IX pada tahun1972. pasal ini mengatur segala sesuatu yang secara spesifik diarahkan pada pengeshan dan perlindungan pada kaum wanita yang berpartisipasi dalam setiap kegiatan. Secara tersurat aturan tersebut berbunyi
“setiap orang (tanpa memperhatikan perbedaan jenis kelamin) memiliki kebebasan untuk berpartisipasi dalam setiap kegiatan” akan tetapi kebijakan tersebut mendapat tantangan yang cukup keras, terutama oleh kaum pria yang mengelola program olahraga disekolah.
Perjuangan keras dari poloti yang peduli dari kaum wanita dikanada memicu terbentuknya perkumpulan olahraga kaumwanita pada tahun 1980. setelah enamtahun kemudian publikasi  yang menyoroti kaum wanita dalam olahraga mulai banyak diedarkan. Serta banyaknya kebijakan benyak memberikan kesempatan bagi kaum wanita untuk berpartisipasi aktif dalam olahraga. Hal itulah yang menjadikan negara  kanada  sebagai negara barat pertama yang membuka peluang besar bagi wanita untuk terjun dalam kegiatan olahraga.
c.       Gerakan Kaum Perempuan
            Dasar pemikirannnya adalah, bahwa wanita akan lebih baik sebagai manusia, jika diberikan peluang untuk menjadi kompeten dan mampu (Fershin, 1974). Hal ini membuat wanita segala usia mengejar keinginan mereka dalam olahraga. Dan partisipasi mereka dianggap sebagai simbol perubahan dari organisasi yang biasanya kental diskriminasinya (Barfield, 1980). Gerakan ini juga menjadi katalisator bagi hak bekerja dan penokohan dalam keluarga. Di mana wanita dapat memperoleh pekerjaan seperti halnya pria, dan mereka berbagi tugas rumah tangga dengan kaum pria sehingga dapat melakukan hal-hal lain, termasuk kegiatan olahraga.
d.      Gerakan Kesehatan dan Kebugaran
Sejak pertengahan tahun 1970-an meningkatnya kesadaran akan kesehatan dan kebugaran mempengaruhi wanita untuk ikut serta dalam berbagai kegiatan fisik. Selain kecantikan tubuh secara tradisional, adapula perhatian akan pembangunan tubuh wanita secara aktual. Yaitu melalui kekuatan, otot dan, pembangunan fisik. Banyak wanita yang mencoba untuk menghadapi tantangan dalam olahraga, bukan hanya ingin terlihat seperti model pada majalah
e.       Adanya Tokoh Olahraga Teladan
Naiknya tingkat partisipasi olahraga wanita juga disebabkan oleh adanya tokoh olahraga yang dapat dijadikan teladan bagi kaum wanita segala usia. Para tokoh ini memperkuat definisi bahwa olahraga adalah kegiatan umat manusia, bukan hanya untuk kaum pria saja.
Faktor-faktor di atas secara kombinasi mempengaruhi partisipasi olahraga wanita dan anak perempuan. Dengan tingginya partisipasi, maka program dan peluang akan semakin bertambah. Naiknya partisipasi wanita tidak mempunyai pengaruh langsung terhadap struktur masyarakatnya, tapi memberikan kontribusi terhadap pengalaman pembangunan bagi individu setiap wanita.
Implikasi dari kenaikan partisipasi olahraga pada wanita adalah keterlibatan wanita dalam tenaga kerja. Adanya batasan peluang kerja bagi wanita biasanya karena mereka dianggap tidak mampu secara fisik. Namun setelah wanita memperlihatkan prestasi mereka dalam olahraga, maka argumen ini dapat dihilangkan. Batasan mengenai ketidak mampuan fisik wanita dalam pekerjaan, dapat ditentang dengan adanya prestasi mereka dalam olahraga.
Riset membuktikan bahwa, satu masalah yang berkaitan dengan pengalaman sosialisasi kaum wanita adalah interferensi mereka dengan pembangunan otonomi dan sikap asertif. Wanita biasanya melihat diri mereka bukan sebagai individu yang tersendiri, namun sebagai kemampuan dalam mengurus dan mendukung orang lain. Seperti dalam situasi keluarga (Chod, 1978). Padahal wanita juga membutuhkan pengalaman yang membuat mereka mampu melihat dirinya sebagai manusia yang unik yang tidak sepenuhnya tergantung dari orang lain. Persoalannya adalah, apakah olahraga dapat memberikan pengalaman ini?
(Coakley & Westkott, 1984) berpendapat bahwa, olahraga berpotensi memberikan pengalaman-pengalaman positip terhadap perkembangan wanita, adalah sebagai berikut
Pertama, partisipasi olahraga dapat menekankan pembangunan identitas anak perempuan dalam kelompoknya yang berdasarkan pencapaian keahlian yang dihargai kelompok. Identitas seperti ini lebih mengutamakan melakukan sesuatu dari pada menjadi sesuatu, jadi aktif bukannya pasif. Partisipasi dalam olahraga membuat wanita dapat mengejar aspirasi mereka dengan lebih serius.
Kedua, partisipasi olahraga dapat membuat wanita menjadi individu yang tersendiri, di mana aktivitas dan tantangannya tidak ditentukan atau dikendalikan oleh keluarga.
Ketiga, olahraga dapat memberikan jenis dan figur pemimpin yang dapat dikaitkan dengan diri mereka. Dengan menggambarkan figur pemimpin dalam situasi dan kemampuan yang berbeda, maka wanita akan melihat pemimpin sebagai manusia biasa yang tidak selalu benar dan sempurna. Begitu pula jika mereka melihat kepemimpinan orang tua mereka. Hal ini akan membuat wanita menjadi lebih asertif dalam hubungannya dengan orang lain dan bukan menjadi takut akan kekuatan atau kekuasaan orang lain.
Selain itu partisipasi olahraga juga dapat member! peluang kepada wanita untuk melakukan koneksi dengan tubuh mereka. Tubuh wanita bukan hanya sebagai bahan konsumsi saja, namun adanya identitas dan perasaan akan kekuatan yang ada pada tubuh tersebut. Dengan demikian partisipasi olahraga akan mendekatkan diri mereka dengan tubuh dan meningkatkan perkembangan psikologisnya. Riset membuktikan pendapat ini meski situasinya harus dibuat lebih bersifat membangun dari pada sekedar untuk mencapai prestasi atau memecahkan rekor saja.
Naiknya partisipasi wanita dalam olahraga dapat mengarah pada tingkat struktural dan sosial psikologis. Otonomi, asertif, dan pendekatan terhadap tubuh wanita bukan merupakan akibat langsung dari partisipasi olahraga. Namun hal ini dapat dicapai jika situasinya dibuat agar bersifat membangun yang ditekankan oleh pelatih, pemain, orang tua dan kelompoknya.

2.2. Wanita Dalam Olahraga
Tidak ada satupun wanita terlahir yang secara otomatis mendapatkan status sebagai olahragawan atau atlet. Status partisipan olahraga hanya diperoleh melalui tindakan yang ditunjukkan dengan perbuatannya pada aktivitas olahraga. Hal ini yang membedakan dengan status bangsawan (raden , roro) yang secara otomatis dimiliki ketika seseorang dilahirkan. Dapat dikatakan bahwa status atlet, yang dimiliki wanita, merupakan achieved-status yaitu kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha-usaha yang disengaja. Kedudukan ini tidak diperoleh atas dasar kelahiran (ascribe-status). Achieved status bersifat terbuka bagi siapa saja tergantung dari kemampuan masing-masing dalam mengejar serta mencapai tujuan-tujuannya. Dari konsep ini stratifikasi sosial akan terjadi. Semua wanita memiliki kesempatan sama untuk memperoleh status tertentu di masyarakat, tetapi karena kemampuan dan pengalaman berbeda berdampak pada lahirnya tingkatan-tingkatan status yang akan diperoleh wanita dalam partisipasinya di olahraga. Bagaimanapun juga setiap wanita berolahraga menginginkan prestise dan derajat sosial dalam kehidupan di masyarakatnya. Bukan sebagai pengakuan atas keberadaannya oleh anggota kelompok, melainkan sebgai salah satu tuntutan kebutuhan untuk harga diri dan atau self-esteem (Teori kebutuhan menurut Maslow). Peningkatan status sosial wanita berolahraga memaksakannya untuk terus memobilisasi setiap tindakan. Mobilitas sebagai salah satu peningkatan status sosial menurut Ralph H. Turner memiliki dua bentuk yaitu:
a. Contest mobility (mobilitas sosial berdasarkan persaingan pribadi),
b. Sponsored mobility (mobilitas sosial berdasarkan dukungan).
Dengan mencermati bentuk mobilitas maka pemberian status sosial kepada wanita berolahraga hendaknya mampu diberikan sesuai porsi proses yang telah dilakukannya. Hal ini mungkin berdampak kepada proses menghilangkan perbedaan pemberian penghargaan diantara atlet pria dan wanita yang sama-sama menjadi juara di kelompoknya (gender). Misalnya sejumlah hadiah yang masih dibedakan diberikan antara kelompok putra dengan putri. Meski mungkin pertimbangannya adalah ketika pertandingan putra sering melahirkan tindakan yang lebih akrobatik, atraktif, skill tinggi (jika dibandingkan dengan kelompok putri), terlebih jika didramatisir oleh pers yang secara jumlah memang kaum pria di kalngan pers lebih banyak yang tentu saja akan selalu memberikan dukungan lebih pada sesamanya, yang berdampak pada semakin banyaknya jumlah penonton dan secara otomatis pemasukan keuntungan dari penjualan karcispun lebih besar.
Terlepas dari itu, status wanita berolahraga memang masih menempati porsi lebih rendah dari kaum pria. Anekdotnya bisa dikatakan karena wanita kalah “start”. Semenjak zaman Yunani dan Romawi, sebagai perintis olahraga modern, wanita belum memperoleh kesempatan yang luas dibandingkan pria, bahkan dilarangnya berpartisipasi meski sebenarnya telah memiliki kemampuan yang sama dengan pria (dari beberapa mitolog Artemis dan Athena, Theseus, Hippolyta).



2.3. Peranan Wanita Dalam Olahraga
Peranan (role) merupakan dinamika dari status atau penggunaan dari hak dan kewajiban (Susanto, 1985), aspek dinamis kedudukan (status) (Soekanto, 1990). Sehingga apabila wanita melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peranan. Peranan mungkin mencakup tiga hal yaitu :
1.        Meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi seseorang, serangkaian peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan.
2.        Konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
3.        Perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.
Peranan dengan status keduanya tak dapat dipisah-pisahkan, karena yang satu tergantung kepada yang lain dan sebaliknya. Tak ada peranan tanpa kedudukan atau kedudukan tanpa peranan. Maka sudah selayaknya seorang wanita partisipan olahraga yang telah berbuat sesuai norma di masyarakat, berperilaku di masyarakat sebagai organisasi (resmi dan tidaknya, olahraga adalah sebuah organisasi), dan merupakan struktur sosial masyarakat mendapat peranan sosial dari kedudukannya sebagai wanita yang berolahraga. Hanya saja sering dilupakan bahwa dalam interaksi sosial yang paling penting adalah melaksanakan peranan. Tidak jarang terjadi bahwa kedudukan lebih diutamakan sehingga terjadi hubungan-hubungan timpang yang tidak seharusnya terjadi. Contoh dalam dunia olahraga, peranan manajer yang melebihi kekuasaan pelatih dalam menentukan siapa atlet yang harus bertanding, peranan atlet profesional yang tidak mencerminkan jati dirinya sebagai olahragawan yang menjunjung sportivitas (fair play). Sehingga lebih cenderung mementingkan bahwa suatu pihak hanya mempunyai hak saja, sedang pihak lainnya hanyalah mempunyai kewajiban belaka.
Dalam dunia olahraga ketimpangan ini menyebabkan terjadinya ketidakmerataan kesempatan. Wanita hanya dijadikan sebagai faktor pendukung yang keberadaannya bukan prioritas, bukan yang utama. Misalnya dalam beberapa kasus olahraga profesional, wanita hanya sebagai objek pelengkap seperti umbrella girls di otomotif sports, atau pemandu sorak dalam beberapa olahraga.
Permainan. Hingga status dan peranannya bukan sebagai “bintang”, tidak pula sebagai pemain utama. Ketimpangan-ketimpangan yang lebih luas terjadi pada masyarakat partisipan aktivitas tertentu, termasuk aktivitas olahraga, akibat ketidaksesuaian harapan (dalam konteks olahraga Indonesia rasanya lebih tepat dikatakan tuntutan) dengan peranan terhadap peranan yang tepat dalam menduduki suatu status (Davis, 1948) terjadi karena :
1.      Harapan masyarakat kurang memperhatikan tindakan sebenarnya atau sebaliknya,
2.      Apabila harapan masyarakat akan tindakannya diketahui, akan tetapi waktu dan situasi tidak memungkinkan bagi individu yang bersangkutan,
3.      Apabila pemenuhan harapan masyarakat di luar kemampuan individu.
Masyarakat olahraga Indonesia masih kuat dengan konsep kalah menang, bahwa suatu pertandingan hanya sebatas pemenang dan pecundang. Sehingga identik dengan menyamaratakan status tanpa memahami peranan yang diemban. Kita menyamakan status atlet kita dengan atlet dunia, tanpa mengerti proses untuk memperoleh status terlebih peranannya seperti apa. Dunia olahraga wanita lebih memperoleh “kesialan” dari konsep ini. Kita lebih tahu bahwa tim putri kita adalah pecundang tanpa mengerti siapa lawannya dan proses untuk menjadi pecundang (karena kita memang kalah start dalam proses pembinaan olahraga wanita). Tim sepakbola kita lebih banyak kalahnya, tim bulutangkis semakin terpuruk, berpindahnya pebulutangkis putri harapan kita ke negara lain, ketidakmampuan induk olahraga dalam proses regenerasi atlet wanita. Ini semua adalah trend yang semakin memperburuk persepsi masyarakat terhadap aktivitas wanita berolahraga. Salah satu penyebabnya adalah perbedaan kesempatan. Menururt Coakley (1990) dari beberapa kasus bahwa wanita masih memiliki sedikit kesempatan dibandingkan pria, terutama di kota-kota kecil dan wilayah pedesaan. Yang lebih sering terjadi adalah kekurangan, diantaranya dalam hal :
1.      Persediaan dan pemeliharaan peralatan dan penyebarannya,
2.      Penjadwalan pertandingan dan waktu latihan,
3.      Kesempatan memperoleh pelatihan dan tutor akademik,
4.      Penugasan dan kompensasi pelatih dan tutor
5.      Ketersediaan obat-obatan dan pelayanan latihan serta fasilitas
6.      Publisitas bagi secara individu, team, dan event.
Hal inilah yang setidaknya memberikan kontribusi bagi pemikiran agar status dan peranan wanita dalam olahraga memperoleh porsi yang lebih luas lagi menyerupai kesempatan yang diperoleh pria. Wanita tidak lagi berada di belakang dalam startnya untuk memperoleh status dan peranan sosial di masyarakat dibandingkan kaum pria. Faktor pendukung ke hal itu adalah kesadaran seluruh masyarakat. Bahwa bagaimanapun juga suatu keberhasilan yang meningkatkan status bangsa di dunia internasional adalah buah kerja sama antara pria dengan wanita. Andai saja bangsa ini adalah negara yang menghormati sejarah serta terus mengenangnya, kita diingatkan pada prestasi tertinggi yang diperoleh duta-duta bangsa dalam olimpiade 1996 saat pertama kalinya lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang adalah buah kerja keras seorang wanita bernama Susi Susanti. Wanitalah sebenarnya yang menjadi perintis bagi KONI untuk terus mencanangkan upaya mendulang medali pada olimpiade-olimpiade berikutnya. Hanya saya kita adalah masyarakat hedonis yang bersuka cita sesaat tanpa mampu mengambil makna dari setiap peristiwa yang mampu menorehkan prestasi spektakuler. Yang pada akhirnya kita tetap lupa (atau mungkin mengabaikan) akan “kemashuran” atlet wanita yang berhasil mencetak prestasi melebihi kaum pria. Sehingga status dan peranan wanita dalam olahraga masih terus berada di belakang kaum pria.

2.4. Perbedaan Gender dalam Olahraga
Diskriminasi terhadap wanita dalam olahraga baru didokumentasikan dan dianggap sebagai masalah pada tahun 1970-an. Di mana tim olahraga wanita menerima dana yang lebih rendah dari tim pria. Tahun 1974 budget program olahraga pria lima kali lipat budget untuk wanita. Bahkan pada tingkat Universitas perbedaannya sampai 100 kali lipat (Women Sport, 1974).
Diskriminasi terlihat dalam hal fasilitas dan peralatan. Wanita menggunakan gedung olahraga yang usang di mana pria dibuatkan gedung yang baru. Wanita memakai peralatan bekas tim pria, jika tidak ada yang bekas terkadang tim wanita tidak mempunyai apa-apa. Dalam menggunakan fasilitas yang sama, wanita mendapatkan giliran jadual yang tidak fair.
Wanita tidak mendapatkan perhatian yang cukup mengenai latihan seperti halnya pria. Sering kali untuk menuju ke pertandingannya, tim wanita harus menggunakan bis padahal tim pria mendapatkan pelayanan pesawat. Liputan media untuk berita tentang olahlraga wanita juga kurang, padahal olahraga pria selalu mendapatkan perhatian media surat kabar, radio bahkan televisi. Sampai adanya persamaan pada setiap bidang di atas, maka wanita tidak bisa dikatakan mendapatkan peluang yang sama dengan pria dalam program sekolah.
Pada tingkat masyarakat, meski partisipasi olahraga wanita telah meningkat, diskriminasi masih kentara. Misalnya pada penggunaan fasilitas, program yang tersedia dan pengurus yang ditugaskan untuk kegiatan olahraga wanita. Hal ini juga terjadi untuk tingkat olahraga amatir nasional.
Mempertahankan Perbedaan Mitos
a.      Mitos Fisiologi
Adanya kepercayaan bahwa partisipasi olahraga menyebabkan efek fisik yang berbahaya bagi wanita. Mitos ini meliputi hal-hal sebagai berikut:
  1. Partisipasi yang keras dalam olahraga dapat mengganggu kemampuan untuk melahirkan, Hal ini disebabkan bahwa latihan fisik akan memperkeras otot pelvis, sehingga tidak akan cukup fieksibel untuk melahirkan secara normal.
  2. Aktivitas pada beberapa cabang olahraga dapat merusak organ reproduksi dan payudara wanita. Mitos ini tetap ada meskipun uterus adalah organ internal yang sangat anti getaran dan lebih terlindung dibanding organ vital pria.
  3. Struktur tulang wanita lebih lemah, sehingga akan memudahkan terjadinya cedera. Meski ukuran tubuh wanita umumnya lebih kecil dari pada pria, namun tulang mereka tidak lebih lemah. Bahkan, karena berat badan dan berat otot wanita lebih ringan, maka tulang mereka menghadapi bahaya yang lebih sedikit dibanding pria.
  4. Keterlibatan yang aktif membuat masalah pada menstruasi. Menurut para ginekolog, "aktivitas olahraga tidak mempengaruhi menstruasi." (Wyrick, 1974). Memang bagi atlet dalam periode latihan yang keras, sering mengalami keterlambatan menstruasi. Namun hal ini disebabkan oleh kurangnya persentasi lemak tubuh, Jadi masalah ini akan hilang jika latihan ketat ini berakhir. Penari balet professional sering mengalami perubahan siklus menstruasi, namun hal ini juga berakhir jika latihan ketat mereka dihentikan.
  5. Keterlibatan dalam olahraga mengakibatkan timbulnya otot yang menonjol dan tidak menarik. Padahal suatu tubuh yang dikondisikan dengan baik akan menjadi menarik. Kondisi fisik yang baik ini juga akan meningkatkan image tubuh dan meningkatnya sifat responsif fisik. Otot yang menonjol dihasilkan oleh hormon androgen yang lebih banyak terdapat pada kaum pada. Namun hal ini bervariasi antar individu.
Kelima mitos tersebut, jelas sangat tidak beralasan bagi wanita untuk tidak berpartisipasi dalam olahraga, sehingga upaya untuk menghindari orang yang masih menganut mitos tersebut di atas, adalah melalui pendidikan. Jadi pendidikan adalah penting untuk menghilangkan mitos yang tidak berdasarkan ilmu pengetahuan ini

b.      Mitos Performansi
Pola diskriminasi juga terlihat dengan argumentasi bahwa wanita tidak bisa tampil lebih baik dari pria. Hal ini sangat menghambat karena akan membatasi peluang, sehingga membatasi wanita untuk membangun kemampuannya.
Sebelum masa puber, perbedaan performansi antara anak laki-laki dan perempuan disebabkan oleh pengalaman bukan oleh faktor fisik ataupun potensi performansinya. Bahkan wanita rnempunyai keuntungan yang lebih baik karena mereka lebih cepat dewasa. Setelah masa puber, keuntungan ada di pihak pria karena hormon dan perbedaan pertumbuhan yang menyebabkan rata-rata pria lebih besar dan lebih kuat dari rata-rata wanita. Hal ini bisa digunakan sebagai dasar untuk membagi-bagi olahraga, namun bukan alasan untuk menutup peluang bagi wanita.
Jika pengalaman dan peluang bagi wanita dan pria sama, maka perbedaan ini akan hilang secara bertahap. Pada beberapa cabang olahraga perbedaan ini mungkin akan tetap ada, namun pada cabang-cabang lainnya perbedaan ini malah bisa terjadi sebaliknya. Misalnya pelari marathon wanita, Grete Waitz dari Norwegia mencatat waktu 2 jam 25 menit 41 detik pada New York City Marathon, waktu yang lebih baik dari pemenang pria saat itu. Pada cabang olahraga yang membutuhkan daya tahan dan bukan kekuatan, maka wanita akan lebih baik daripada pria. Karena itu tidak masuk akal jika mencegah peluang pria pada cabang ini, dan juga tidak masuk akal untuk mencegah wanita pada cabang lain hanya karena ada kemungkinan bahwa pria akan mengunggulinya.
Mitos performansi diperkuat oleh sejarah pembatasan dan diskriminasi. Mitos ini mulai berkurang, tapi jika individu dan kelompok yang berpengaruh (seperti IOC) masih menganut hal ini, maka diskriminasi akan terus berlanjut.



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pemberian status dan peranan sosial bagi wanita dalam olahraga hendaknya dapat dilakukan lebih bijak melalui pertimbangan kesesuaian antara apa yang mampu dilakukannya dengan pemberian hak dan kewajiban serta kesesuaian memberikan harapan-harapan bukan dalam bentuk tuntutan. Mitos yang keliru sudah seharusnya dibuang. Perbedaan persepsi tidak harus semakin menyudutkan status dan peranan wanita dalam olahraga melainkan sebagai pengayaan untuk mencari solusi dalam memberikan kesempatan yang lebih luas untuk menumbuhkembangkan seluruh potensi serta untuk terus mengejar ketertinggalan dari kaum pria, dan kemajuan kaum wanita di negara lain.

Saran
Diharapkan dengan emansipasi wanita yang dipelopori oleh R.A. Ajeng Kartini, wanita akan lebih dapat menselaraskan dengan kaum pria dalam kedudukan serta skill (keahlian) dan ability (kecakapan).




DAFTAR PUSTAKA

Avgerinou, Vassiliki. Kedudukan Dan Peran Atlet Di Masyarakat. Kajian Substansi Makalah dalam Payung Sosiologi Olahraga.

Coakley, Jay J. (1990). Sport in Society Issues and Controversies. Fourth Edition. Time Mirror/Mosby College Publishing – St. Louis-Toronto-Boston-Los Altos.

Giriwijoyo, Santoso (2003). Wanita dan Olahraga. FPOK UPI Bandung.

Soekanto, Soerjono (1990). Sosiologi Suatu Pengantar. Edisi Keempat. Rajawali Pers – Jakarta.

Susanto, Astrid S. (1985). Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Bina Cipta. Wendt,

Jenice Clemons. Women In Sport. University of Houston, Houston, Texas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar